Menjelang pemilihan Presiden 2020, dalam kampanyenya Joe Biden mengisyaratkan perlunya “merundingkan kembali” Kesepakatan nuklir Iran Joint Comprehensive Plan of Action (JCPOA), meski gagasan ini ditolak mentah-mentah oleh Iran.
Diwaktu lalu, Israel telah melobi Washington secara intens agar AS menarik diri dari JCPOA, dan mengancam akan melakukan tindakan militer jika Iran memiliki senjata nuklir.
Israel bisa jadi akan melancarkan serangan militer terhadap Iran setelah Presiden Donald Trump tidak lagi menjabat Presiden, kata mantan Penasihat Keamanan Nasional Trump Herbert R McMaster.
Mantan pejabat itu merujuk pada kebijakan pemerintah Israel dalam melakukan serangan ‘pencegahan’ terhadap musuh potensial yang dicurigai oleh Tel Aviv telah mengembangkan senjata pemusnah massal.
Doktrin tersebut dirumuskan pada tahun 1960-an, tetapi kemudian dinamai dengan nama PM Israel era 1977 dan 1983, Menachem Begin, yang menyerang reaktor nuklir Osirak Irak di luar Baghdad ketika masih dalam pembangunan pada tahun 1981. Doktrin tersebut ilegal menurut hukum internasional, yang melarang konsep serangan pendahuluan dan perang preventif.
Otoritas Suriah berulang kali menolak klaim bahwa fasilitas yang diserang pada tahun 2007 adalah sebuah ‘situs nuklir’, dimana Presiden Bashar al-Assad mengatakan adalah “kebodohan” bagi Damaskus jika membangun situs nuklir di gurun tanpa pertahanan udara.
Pada tahun 2009, pejabat Suriah mengatakan kepada Badan Energi Atom Internasional bahwa situs yang diserang Israel itu adalah Depo penyimpanan rudal.
Kembali ke JCPOA Akan Menjadi ‘Kesalahan Besar’
McMaster juga mengemukakan pendapatnya soal kesepakatan nuklir Iran, dengan mengatakan bahwa akan merupakan “kesalahan yang sangat besar” bagi Washington jika kembali ke perjanjian tersebut.
Dia menyebut JCPOA sebagai perjanjian dengan “cacat yang mendasar“, McMaster menyarankan agar JCPOA tidak memembahas soal “ideologi rezim yang bermusuhan“, serta “Perang proxy selama empat dekade melawan kami“, termasuk upaya untuk menempatkan “Tentara proxy di perbatasan Israel”.
Dalam beberapa hari terakhir, pejabat AS dan Iran secara terbuka mengomentari prospek Washington untuk kembali ke kesepakatan nuklir JCPOA , dimana kubu Biden dilaporkan mempertimbangkan untuk melakukan “negosiasi ulang” atas perjanjian itu. Sementara Menlui Iran Mohammad Javad Zarif menepis sentimen ini, dengan mengatakan bahwa meskipun Teheran akan siap untuk “terlibat kembali” pembicaraan dengan AS, tapi “keterlibatan kembali itu bukan berarti negosiasi ulang,” melainkan “kembalinya AS ke meja perundingan.”
Pada hari Kamis 12/11, perwakilan khusus Trump untuk Iran dan Venezuela, Elliott Abrams, mengatakan ada kelompok bipartisan di Kongres yang akan membuat “perubahan” dan “modifikasi” pada JCPOA sebelum AS mempertimbangkan untuk bergabung kembali.
Iran, AS, Rusia, China, Prancis, Jerman, Inggris, dan Uni Eropa menandatangani kesepakatan nuklir JCPOA pada tahun 2015, di mana para pihak akan memberikan keringanan sanksi kepada Republik Islam Iran dengan imbalan pembatasan program nuklirnya, dan berjanji untuk tidak mengembangkan senjata nuklir.
Pemerintahan Trump secara sepihak menarik diri dari perjanjian itu pada 2018, dan terus memberlakukan kembali sanksi yang melumpuhkan terhadap Teheran.
Pada 2019, Iran mulai meningkatkan stok uranium yang diperkaya, dengan alasan kegagalan Eropa yang ikut menandatangani perjanjian itu untuk memenuhi janji mereka dalam ikut melindungi ekonomi Iran dari sanksi AS.
Sampai saat ini, tingkat pengayaan Uranium Iran masih jauh di bawah yang dibutuhkan untuk membuat senjata nuklir (meski IAEA menyebut sudah 20x lebih cukup), dan Iran secara konsisten selalu menyebut bahwa mereka tidak berniat memiliki senjata nuklir atau senjata pemusnah massal dalam bentuk apapun.