Hari senin 25/3 2019 kemarin , Donald Trump secara resmi mengakui kedaulatan Israel atas Dataran Tinggi Golan yang diduduki dan direbut dari Suriah pada tahun 1967 dalam sebuah langkah yang disebut sebagai “bersejarah” oleh perdana menteri Israel.
Suriah mengatakan keputusan Trump itu adalah “serangan terang-terangan terhadap kedaulatannya”.
Israel menganeksasi Dataran Tinggi Golan pada tahun 1981, dalam suatu langkah yang tidak diakui secara internasional. Seorang juru bicara Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres mengatakan pada hari Senin : “jelas bahwa status Golan tidak berubah” (karena keputusan Trump itu).
Selama beberapa dekade, Washington mengambil sikap yang sama dengan PBB (tidak mengakui pencaplokan Israel atas Golan) , tetapi minggu lalu dalam tweetnya Trump menyatakan rencananya untuk membalikkan kebijakan AS itu.
Sebagai tanggapan, Suriah telah berjanji untuk merebut kembali wilayahnya itu “dengan segala cara “.
Namun Netanyahu mengatakan kepada wartawan yang berkumpul di Washington pada hari Senin bahwa Israel “tidak akan pernah menyerah”. “Pernyataan Anda (Suriah) itu dikeluarkan pada saat Golan telah menjadi bagian yang penting bagi keamanan kami,” kata Netanyahu dengan mengutip apa yang dia sebut adanya ancaman dari pasukan Iran di Suriah.
“Israel telah memenangkan Dataran Tinggi Golan dalam perang membela diri yang adil, dan akar orang-orang Yahudi di Golan telah kembali seperti ribuan tahun yang lalu,” kata Netanyahu.
Namun, ada sedikit tanda adanya negara lain yang akan mengikuti jejak AS itu, yang oleh sumber kementerian luar negeri Suriah digambarkan sebagai “pukulan memalukan bagi masyarakat internasional”, menurut kantor berita pemerintah Suriah Sana.
Rusia yang telah memberikan dukungan militer kepada Presiden Bashar al-Assad dalam konflik Suriah memperingatkan dekrit dari Trump itu sebagai “dapat mendorong gelombang baru ketegangan di kawasan Timur Tengah”.
Sementara itu, Turki yang selama ini mendukung oposisi Suriah mengatakan, adalah “tidak mungkin” untuk menerima dekrit AS itu, dan pihaknya berencana untuk mengambil tindakan (protes) di PBB.
Tentang Golan
Wilayah ini terletak sekitar 60 km (40 mil) barat daya Damaskus ibukota Suriah dan mencakup luas sekitar 1.200 km persegi (400 mil persegi). Israel merebut sebagian besar Dataran Tinggi Golan dari Suriah pada tahap berakhirnya perang Timur Tengah 1967, dan menggagalkan upaya Suriah untuk merebut kembali wilayah itu ketka perang 1973.
Kedua negara menyepakati rencana pelepasan pada tahun berikutnya yang melibatkan pembentukan zona demiliterisasi sepanjang 70km (44 mil) yang dipatroli oleh pasukan pengamat PBB. Tetapi secara teknis mereka (Suriah dan Israel) tetap dalam status perang.
Pada 1981, parlemen Israel meloloskan undang-undang yang menerapkan “hukum, yurisdiksi, dan administrasi” atas Golan, yang pada intinya adalah mencaplok wilayah tersebut. Tetapi komunitas internasional tidak mengakui langkah tersebut dan menyatakan bahwa Golan yang diduduki Israel itu adalah wilayahnya Suriah.
Resolusi 497 Dewan Keamanan PBB menyatakan keputusan Israel itu “batal demi hukum dan tidak punya efek hukum internasional”. Tiga tahun lalu, ketika mantan Presiden Barack Obama menjabat, AS memberikan suara mendukung pernyataan Dewan Keamanan yang menyatakan keprihatinan mendalam bahwa Netanyahu telah menyatakan Israel tidak akan pernah melepaskan Golan.
Suriah selalu bersikeras bahwa mereka tidak akan menyetujui perjanjian damai dengan Israel kecuali jika mereka menarik diri dari seluruh Golan. Perundingan damai langsung terakhir yang diperantarai AS macet pada tahun 2000, sementara Turki pernah menjadi penengah dalam perundingan tidak langsung pada 2008.
Saat ini telah ada lebih dari 30 permukiman Israel di Golan, yang dihuni oleh sekitar 20.000 orang. Permukiman itu dianggap ilegal berdasarkan hukum internasional, tapi Israel membantahnya. Para pemukim (Yahudi) itu tinggal bersama sekitar 20.000 warga Suriah yang kebanyakan dari mereka adalah orang Arab Druze, yang tidak melarikan diri ketika Golan direbut Israel.