Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNGA) pada 22-23 September 2024 kemarin telah mengadopsi pakta ambisius, yang disebut “Pact for the future”, yang diklaim bertujuan untuk menjadikan BBB “lebih relevan dan efektif” di panggung global abad ke-21.
Namun, ada 7 negara yang menentang “Pakta untuk Masa Depan” itu, temasuk Rusia, Iran, Korea Utara, Belarus, Suriah dan Nikaragua. Sayangnya mereka gagal mencegah dokumen tersebut untuk disahkan, kalah oleh lobi kekuatan global yang mampu merangkul 193 negara.
Tujuan utamanya adalah menggiring opini baru, bahwa dunia bisa mengatasi segala ancaman baik itu perang, perubahan iklim, pandemi dan sebagainya, hanya jika seluruh negara bersatu dalam satu tatanan dunia baru, sebuah pemerintahan global.
Apa itu ‘Pact for the future’
PBB menggambarkan pakta tersebut sebagai “deklarasi penting” yang menjanjikan tindakan menuju perbaikan dunia, untuk generasi mendatang.
Teks panjang yang diadopsi oleh Majelis Umum PBB yang diadopsi oleh 193 negara itu mencakup janji untuk bergerak lebih cepat dalam mencapai ‘Sustainable Development Goals’ (SGDs) atau Tujuan Pembangunan Berkelanjutan, dan komitmen “Perjanjian Paris mengenai perubahan iklim”.
Kesepakatan disebut akan mampu menghadap akar penyebab konflik, dan mempercepat komitmen terhadap hak asasi manusia, termasuk hak-hak perempuan.
Perjanjian ini menyertakan dua dokumen lampiran, yang disebut Dampak Digital Global (Global Digital Impact), yang mengatur mengenai regulasi kecerdasan buatan (AI), dan Deklarasi Generasi Mendatang (Declaration on Future Generations), yang mendorong pengambilan keputusan “nasional” dan “internasional”.
Pakta tersebut mencakup berbagai topik, dengan tingkat ambisi yang berbeda-beda, dan forum serta setiap lembaga PBB yang berbeda akan bertanggung jawab untuk menindaklanjuti berbagai topik tersebut.
Pakta itu diklaim PBB berorientasi pada 5 hal:
- Pembangunan berkelanjutan dan pembiayaan untuk pembangunan.
- Perdamaian dan keamanan internasional.
- Ilmu pengetahuan, teknologi dan inovasi serta kerja sama digital.
- Pemuda dan generasi mendatang.
- Dan Transformasi tata kelola global.
KTT ini juga disebut akan menghasilkan “perjanjian digital global” dan deklarasi mengenai generasi masa depan (Resolusi 76/307) yang akan dilampirkan pada Pakta.
Ringkasan kebijakan itu disebut disiapkan dan difasilitasi bersama oleh Namibia dan Jerman (Pakta), Zambia dan Swedia (kejasaman Digital), serta Jamaika dan Belanda (Generasi Masa Depan).
Apa yang dijanjikan
Dokumen tersebut menjanjikan, bahwa negara-negara akan: mengakhiri kelaparan dan menghilangkan ketahanan pangan, mengatasi kesenjangan pendanaan dan investasi global, berkomitmen terhadap sistem perdagangan multilateral yang adil, mencapai kesetaraan gender, melindungi lingkungan dan iklim, serta melindungi orang-orang yang terkena dampak darurat kemanusiaan.
Pakta tersebut juga menjanjikan untuk merevitalisasi kewajiban dan komitmen dalam pelucutan senjata nuklir dan biologi, “memperbarui kepercayaan terhadap lembaga-lembaga global” dengan menjadikannya lebih representatif dan responsif, serta memajukan dan melindungi hak asasi manusia, termasuk melalui pemberantasan rasisme dan xenofobia.
Pakta itu juga diklaim ingin mempercepat reformasi arsitektur keuangan internasional, meningkatkan respons terhadap guncangan global, dan meningkatkan kerja sama dalam eksplorasi luar angkasa dan mencegah perlombaan senjata di luar angkasa.
Pakta juga ditujukan untuk “memperkuat respons” DK PBB dan “merevitalisasi” kerja Majelis Umum PBB, sembari memperkuat sistem PBB secara keseluruhan, termasuk Dewan Ekonomi dan Sosial serta Komisi Pembangunan Perdamaian.
Negara-negara Penentang
Sejumlah 7 negara menentang pakta tersebut, yaitu: Rusia, Iran, Korea Utara, Belarus, Suriah dan Nikaragua.
Mereka menganggap pakta tersebut akan “mengintervensi kedaulatan nasional”, dan sebaliknya hanya akan menguatkan pengaruh “entitas eksternal” dalam urusan dalam negeri suatu negara.
Menurut para negara penentang, PBB harusnya didorong oleh proses “pengambilan keputusan antar pemerintah”, dan “tidak boleh melakukan intervensi dalam hal-hal yang berada dalam yurisdiksi domestik negara manapun”, harus sejalan dengan piagam organisasi PBB sendiri.
WaMenlu Rusia, Sergey Vershinin mengatakan, bahwa mereka yang mengkoordinasikan naskah tersebut selama berbulan-bulan yaitu terutama Jerman dan Namibia, hanya memasukkan “apa yang didiktekan oleh negara-negara Barat”, dan mengabaikan usulan Rusia untuk melakukan negosiasi antar pemerintah. Dia menggambarkan pendekatan ini sebagai “despotisme”.
Rusia menegaskan akan bersikap “menjauhkan diri dari konsensus dalam pakta itu”, dan tidak akan mengangap sebagai “mandat dan kewajiban baru” bagi negara anggota, karena “hanya merupakan sebuah deklarasi yang sangat tidak jelas”.