Telah sangat gamblang kita amati bersama bagaimana tahap tahap agenda besar zionis dalam perang dunia tiga (baca agenda zionis tentang perang nuklir) yang telah kita saksikan memang benar benar dilaksanakan, Juga pada artikel perang dunia 3 dibagi 2 fase kita juga telah kita bahas bagaimana fase pertama adalah penghancuran tujuh negara2 muslim penentang Israel telah hampir tuntas dilaksanakan, dua negara terakhir menurut bocoran mantan Jendral AS Wisley Clark adalah Lebanon dan Iran. Merujuk bocoran Jend Wisly Clark itu, tentu sangat mungkin Lebanon akan menjadi arena perang proxy adu domba Shiah – Suni berikutnya setelah Iraq, Yaman dan Suriah.
Lebanon berisiko akan menjadi arena konflik baru antara Saudi vs Iran, Karim Emile Bitar, seorang pakar senior di Institute for International and Strategic Relations di Paris (IRIS), mengatakan kepada Sputnik, dia mengungkapkan harapannya bahwa Prancis dapat menengahi krisis politik yang sedang berlangsung. Dia berpendapat bahwa AS telah memainkan peran penting dalam meningkatnya eskalasi ketegangan.
Sebuah perang hibrida yang secara bersamaan terjadi di beberapa wilayah merebak di antara Iran dan Arab Saudi, Karim Emile Bitar menekankan bahwa Lebanon mungkin akan menjadi arena peperangan. Tapi Bitar juga mencatat bahwa tidak ada yang bisa mengatakan apakah situasinya akan meningkat menjadi sebuah perang.
Dia mencatat bahwa sebagian besar masyarakat Syiah Lebanon yang menurut perkiraan sekitar 80 persen mendukung Hizbullah. Pada saat yang sama komunitas Sunni di negara tersebut sangat berorientasi pada Arab Saudi, orang-orang Syiah berfokus pada Iran.
Karena kondisi ini “Lebanon berisiko menjadi arena konfrontasi antara kekuatan regional ini, baik secara langsung maupun tidak langsung,”
Menurut Bitar belum ada keseimbangan kekuatan yang berdasarkan pada “semacam pencegahan bersama”: “Baik Saudi maupun Hizbullah tidak tertarik pada kemunduran situasi,” kata spesialis tersebut.
“Namun ketika situasinya begitu tegang ketika kendali (kekuasaan Saudi) ada pada orang-orang yang keras, impulsif dan emosional seperti Mohammed bin Salman di Arab Saudi atau Donald Trump di AS, sebuah situasi yang terbangun dari beberapa faktor akan dapat menyebabkan ledakan, “dia memperingatkan.
Bitar berpendapat bahwa “jika terjadi bentrokan militer antara Israel dan Hizbullah, maka tidak akan terbatas pada Lebanon, tapi juga bisa mempengaruhi Suriah.” “Artinya, situasinya sangat berbahaya,” serunya.
Cendekiawan tersebut memprihatinkan fakta bahwa Lebanon telah menjadi “sandera konflik regional.” Beberapa minggu terakhir ini bahkan masyarakat Lebanon yang tadinya menilai kebijakan internal Hizbullah negatifpun mulai merasa bahwa Saudi dan Donald Trump telah bertindak terlalu jauh, katanya.
“Ketika Kerajaan Saudi meminta Hariri untuk mengumumkan pengunduran diri dari Arab Saudi melalui saluran televisi Saudi, masyarakat Lebanon melihatnya sebagai serangan terhadap kedaulatan nasional negaranya,” kata Bitar, “kadang-kadang ada perasaan bahwa orang Saudi telah bertindak melawan kepentingan mereka sendiri. ” (mereka menginginkan kedamaian timteng tapi mereka malah sering membantu menyulut perang).
Menurut Bitar, rakyat Lebanon berharap Paris mau bertindak sebagai mediator. Mereka berpikir bahwa Prancis akan membujuk Saudi untuk membuat konsesi dan menjelaskan kepada Riyadh bahwa urusan politik Lebanon hanya dapat diselesaikan melalui kompromi antara berbagai faksi, dan bahwa usaha untuk melakukan pukulan terhadap Hizbullah di wilayah Lebanon akan berbahaya karena hal itu dapat menyebabkan kekacauan.
Cendekiawan tersebut menduga bahwa AS telah memainkan peran penting dalam munculnya krisis Lebanon yang sedang berlangsung. Washington berusaha untuk secara tidak langsung menghantam Iran di Lebanon dan Suriah, sejak rencana awalnya untuk melemahkan Teheran melalui negosiasi ulang kesepakatan nuklir Iran, yang juga dikenal sebagai Rencana Aksi Komprehensif Bersama (JCPOA) sebagian besar telah gagal.
“Trump ingin meninjau kembali kesepakatan nuklir yang ditandatangani AS dengan Iran oleh pendahulunya Barack Obama,” Bitar menjelaskan. “Namun, dia melihat bahwa ini tidak mungkin, karena ini bukan sekedar kesepakatan bilateral, namun Eropa dan PBB juga merupakan pihak-pihak yang terlibat. Pada saat yang sama Eropa menegaskan bahwa mereka percaya bahwa Iran telah memegang janjinya , jadi tidak ada alasan untuk merevisi kesepakatan tersebut. “
Sebelumnya, Hariri mengumumkan keputusannya untuk mundur adalah merujuk pada kekhawatiran ancaman pembunuhan, dengan mengatakan bahwa atmosfir di Lebanon mengingatkannya sperti sebelum pembunuhan ayahnya, mantan Perdana Menteri Lebanon Rafic Hariri, yang terbunuh pada tahun 2005.
Hariri menjabat sebagai perdana menteri dari tahun 2009 sampai 2011 dan mulai menjabat lagi pada bulan November 2016.